Teknologi 4G sudah cukup banyak kita dengar selama tahun-tahun terakhir ini. Namun bagi kebanyakan kita, janji akan mobile broadband yang lebih gegas itu belumlah menjadi realitas.
Di Indonesia, kita bahkan masih berkutat dengan isu teknologi mana yang akan dijagokan. Apakah WiMax, LTE, atau lainnya. Lain halnya dengan mereka yang bermukim di Stockholm, Swedia dan Oslo, Norwegia. Hari ini, mereka yang bermukim di kedua kota tersebut sudah bisa menikmati layanan 4G dari TeliaSonera.
Peluncuran layanan 4G/LTE (Long Term Evolution) di Stockholm dan Oslo membuat para pelanggan di sana bisa menikmati layanan-layanan yang menuntut kecepatan transmisi yang cepat dan kapasitas yang besar. Ini termasuk layanan siaran TV web, online gaming yang ekstensif dan web conference.
Saat ini 4G adalah teknologi mobile tercepat. Sajian kecepatannya bisa mencapai 10x lebih cepat dibandingkan tawaran 3G yang ada. Pesaing LTE adalah WiMax. Teknologi ini dipakai di beberapa kota di AS oleh operator Sprint dan Clearwire.
“Kami sangat bangga menjadi operator pertama di dunia yang menawari pelanggan kami layanan 4G. Penggunaan mobile broadband di negara-negara Nordic sedang meledak dan pelanggan butuh kecepatan dan kapasitas yang lebih tinggi. Itulah mengapa kami meluncurkan layanan 4G di Stockholm dan Oslo,” kata Kenneth Karlberg ( President dan Head of Mobility Services).
Kedua jaringan 4G di Stockholm dan Oslo hanya mencakup daerah-daerah pusat kota. Jaringan 4G Stockholm dipasok oleh Ericsson, sedangkan jaringan 4G Oslo dipasok oleh Huawei. Sementara itu Samsung akan menawarkan modem yang kompatibel untuk layanan 4G/LTE.
Internet broadband, alias akses Internet dengan kecepatan tinggi ternyata baru sekadar mendukung gaya hidup penggunanya di Indonesia. “Efek di kehidupan pribadi adalah bisa hemat uang dan meningkatkan kehidupan sosial pemakainya, tetapi untuk produktivitas masih kecil “ ungkap Yohanes Denny (Strategic Intelligence, PT Nokia Siemens Networks) di Jakarta (22/12).
Yohanes ketika itu mengutipkan hasil riset di 15 negara, termasuk Indonesia. Lebih lanjut Yohanes mengatakan, di Indonesia broadband belum terlalu besar mempengaruhi produktivitas, apalagi untuk menunjang kegiatan bisnis dan pemerintahan. “Tapi sangat berefek dalam lifestyle,” tegasnya.
Dari riset itu, Yohanes mendapatkan bahwa (pemanfaatan broadband di) Indonesia lebih berbasis pada sisi konsumerisme dan masih dalam rendah dalam infrastruktur dan ICT. Pengguna broadband juga masih dalam masa transisi ke arah gaya hidup. “Harusnya galakkan produktivitas. Di Indonesia, produktivitas tidak meningkat, tapi lifestyle meningkat,” sesalnya.
Uniknya, kebanyakan pengguna yang mayoritas adalah kalangan muda itu menggunakan akses broadband tersebut di rumah, bukan di kantor, kafe Internet, atau di perjalanan. “Jadi sebenarnya terbuka peluang bagi operator untuk menciptakan industri kreatif dengan sentuhan personal,” kata Yohanes.
Menurut Yohanes, perilaku pengguna di tanah air maupun di dunia sebenarnya dari tahun ke tahun tidak berubah. Yang digunakan adalah aplikasi-aplikasi ber-bandwidth rendah. Maklum kegiatan para pengguna ini masih saja seputar browsing, -e-mail, donwload, upload, video streaming dan online gaming.
“Mereka suka kepraktisan, alias model bayar kalau pakai, mengakses aplikasi-aplikasi yang tidak menyedot bandwidth, dan mobile sebagai gaya hidup, alias bersifat personal. Jadi sebenarnya yang diperlukan adalah solusi e-living yang tidak bisa lagi dipisahkan antara browsing, e-mail, download, dll,” ucap Yohanes. Ia juga menyarankan para operator telekomunikasi untuk menambahkan unsur ‘excitement’. “Yang mereka cari adalah excitement, beda dengan apa yang adi kepala operator, yakni kepuasan. Sebenarnya , yang dicari adalah kenyamanan, bukan kecepatan,” tandasnya.
Yohanes menyayangkan sikap operator yang masih memperlakukan broadband bak potongan-potongan kue yang pada akhirnya memunculkan keluhan bahwa mereka tidak untung dan harus memangkas bandwidth. “Disarankan operator berpikir lebih jauh dari sekadar paket unlimited, time-base, volume-base, tapi masuk ke e-living, e-education, e-health, e-commerce, e-government. Lebih fokus ke pemakaian koneksi untuk meningkatkan berbagai aspek kehidupan. Operator harus bertransformasi dari pembagi kue menjadi customer data. Misalnya dengan menjual mobile voucher.”
“Aplikasi ponsel adalah bisnis yang menjanjikan. Sudah saatnya Indonesia masuk ke e-living. Semua industri harus berkolaborasi,” tandas Yohanes.